Selasa, 10 April 2012

Hasil Ujian Nasional Jelek, Guru Yang Dicela


Pasca-pengumuman hasil ujian nasional lima tahun lalu, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Riswandha Imawan (almarhum) menulis, ”Seandainya dari 30 siswa suatu sekolah dua anak tidak lulus, itu salah muridnya. Jika satu kelas tidak lulus semua, itu salah gurunya. Namun, jika seluruh siswa dari satu atau beberapa sekolah di Tanah Air tidak lulus, itu salah sistemnya” (Kompas, 4 Juli 2005).

Prahara ujian nasional (UN) 2005 kembali terulang. Hasil UN 2010 tingkat SMA/MA/SMK yang diumumkan serentak 26 April 2010 menunjukkan kenyataan yang menyedihkan.

Dari 16.467 SMA/MA/SMK peserta UN tahun ini, sedikitnya 267 sekolah siswanya tidak lulus semua (Kompas, 28/4). Pengumuman UN SMP/MTs/SMP Terbuka nyaris serupa, 561 sekolah lulus nol persen (Kompas, 7/5).

Rasa cemas sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum UN pada seluruh komponen masyarakat: siswa, guru, orangtua, sekolah, pemerintah daerah. Ritual istigasah yang digelar di beberapa daerah menjelang pelaksanaan UN adalah refleksinya. Ritual itu sebagai wujud kepasrahan kepada Sang Pencipta setelah berbagai upaya ditempuh.

Dalam try out, masih banyak siswa tidak lulus. Ternyata hasil try out itu cukup mencerminkan hasil UN 2010 yang sebenarnya. Klimaksnya, prahara UN 2005 nyaris terulang. Banyak guru shock dan banyak siswa menangis histeris. Bahkan, di Yogyakarta, kota yang selama ini menjadi barometer pendidikan negeri ini, persentase ketidaklulusannya justru tertinggi di Jawa.

Salah urus

Banyak suara miring menyikapi buruknya hasil UN tahun ini, salah satunya dialamatkan kepada sosok guru. Padahal, kalau mau jujur mengakui, sistem pendidikan di Republik ini sebenarnya telah salah urus sangat parah selama bertahun-tahun. Wajah bopeng dunia pendidikan tecermin, antara lain, pada seringnya pendidikan dijadikan proyek: mulai dari uji coba kurikulum sampai block grant yang tidak tepat sasaran, mulai dari pengabaian kesejahteraan guru hingga kerusakan gedung sekolah.

Presiden kedua Amerika Serikat John Adams pernah menegaskan, ”Pembangunan pendidikan rakyat jelata lebih penting daripada harta milik orang-orang kaya di seluruh negara.” Tampak betapa penting arti pendidikan sebagai investasi masa depan suatu bangsa.

Masalahnya, anggaran di Indonesia sudah sarat beban. Beban utang yang harus dibayar pemerintah tahun-tahun lalu, misalnya, besarnya 2,8 kali anggaran pendidikan, 10,6 anggaran bidang kesehatan, dan 119 kali dari anggaran ketenagakerjaan.

Pendidikan negeri ini memang penuh ironi. Para pemimpin selalu beretorika ingin menjadikan bangsa ini besar, tetapi kurang menaruh perhatian pada pendidikan. Inilah negara dengan jumlah mobil mewah terbanyak di Asia, tetapi sekaligus negara dengan jumlah anak-anak usia sekolah terbesar yang tak dapat melanjutkan sekolah.

Politisasi dunia pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun membuat sektor pendidikan terpuruk. Akibatnya angka indeks pembangunan manusia selalu rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga.

Peran guru

Beberapa tahun lalu, apresiasi terhadap sektor pendidikan negeri ini amat rendah. Salah satunya terlihat dari penghargaan terhadap profesi guru. Maka, sosok guru pun seperti yang digambarkan dalam lirik lagu ”Oemar Bakri” karya Iwan Fals: sosok miskin yang ke mana-mana memakai sepeda kumbang. Selama bertahun-tahun para guru dipolitisasi dan dimarjinalkan dengan jargon heroik ”pahlawan tanpa tanda jasa”.

Stereotip semacam ini menjadikan para lulusan terbaik SMA nyaris tak ada yang bercita-cita menjadi guru karena tidak menjanjikan dari sisi materi. Mengingat peran sentral guru dalam menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa, sudah saatnya pemerintah mengapresiasi lebih profesi guru.

Saatnya lulusan terbaik SMA/ MA/SMK mendapat beasiswa ikatan dinas untuk melanjutkan pendidikan ke fakultas pendidikan dan menjadi guru di almamaternya dengan imbalan gaji dan fasilitas memadai.

Memang materi bukan satu-satunya ukuran tingkat kebahagiaan dan status sosial seseorang. Namun, dalam era di mana materi dipuja seperti sekarang, rasanya munafik menisbikan faktor ini.

Tanpa pembenahan sistem pendidikan yang diikuti dengan perbaikan nasib dan status sosial para guru, putra-putri terbaik bangsa ini tidak akan pernah tertarik menekuni profesi guru. Jika hal itu yang terjadi, fenomena involusi pendidikan yang berlangsung secara sistemik akan menggerogoti dan membangkrutkan bangsa dan negara ini.

Oleh Toto Subandriyo

========================================================================
100% Tidak Lulus

Siswa Sekolah Menengah Pertama Borobudur, Jakarta, menangis bahagia karena berhasil lulus ujian akhir nasional seusai pengumuman kelulusan di sekolah mereka, Jumat (7/5). Sebanyak 54 siswa dari 97 peserta ujian di sekolah tersebut dinyatakan tidak lulus dan harus mengikuti ujian ulang pada 17-20 Juni 2010. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)***


100 Persen Tidak Lulus di Sekolah-sekolah Kecil

JAKARTA - Ketidaklulusan 100 persen banyak menimpa sekolah-sekolah dengan jumlah siswa kecil, di bawah 30 siswa. Sebagian besar sekolah itu adalah SMP terbuka. Sekolah tersebut ditengarai juga terbatas sarana dan prasarananya. Sementara itu, kemarin tidak tampak ada eforia.

Pengumuman kelulusan ujian nasional, Jumat (7/5), tidak dilakukan dengan cara yang sama. Sebagian sekolah ada yang membagikan amplop kepada orangtua murid, ada sekolah membagikan amplop pengumuman langsung kepada murid, dan ada pula yang melarang murid ke sekolah karena mereka yang tidak lulus ditelepon langsung ke rumah mereka.

Maria Regina Nayenggita (15) dari SMP Mater Dei, Kota Tangerang Selatan, Banten, bersama dua temannya, Irene Indraswari dan Goretti Praptaningtyas, bergembira setelah tahu dirinya lulus. ”Seneng banget. Enggak sangka. Padahal, biasa-biasa saja belajarnya. Latihan soal terus di sekolah sampai bosan,” kata Goretti yang mendapat nilai 36,80.

SMP kecil : Pengumuman di SMP Gotong Royong, Yogyakarta, pengumuman diwarnai tangis karena hanya dua dari peserta UN lulus. Meskipun punya kesempatan mengulang, murid yang gagal merasa malu dan kecewa.

”Perasaan saya campur aduk, belum tahu mau apa setelah ini,” ujar Titin Andrajani (15), salah satu murid yang tak lulus. Dia gagal di mata pelajaran Matematika dan IPA. Beberapa sekolah menyebut kebanyakan tidak lulus di mata pelajaran Bahasa Inggris. Murid di SMP Gotong Royong kebanyakan datang dari keluarga tak mampu sehingga mereka tak mampu membeli buku pelajaran.

Di Kota Samarinda ada delapan sekolah lulus 0 persen dengan jumlah siswa 97 orang, atau rata-rata 12 orang per sekolah.

Sementara dari 105 sekolah di Jawa Tengah yang tingkat kelulusannya 0 persen, 82 di antaranya adalah SMP terbuka yang berisi siswa sudah bekerja.

”Waktu mau UN, saya memang tidak belajar karena harus bekerja,” kata Jumainah (15), salah satu siswa SMP Negeri Terbuka 1 Cepiring, Kendal, Jawa Tengah, seusai mengambil hasil kelulusan ujian nasional di sekolahnya. Dari 11 siswa SMPN Terbuka 1 Cepiring yang mengikuti UN, semua tidak lulus.

SMPN Terbuka 1 Cepiring memiliki 19 siswa, hanya 11 ikut UN. Kebanyakan siswa di sekolah yang menginduk ke SMPN Cepiring ini bekerja sebagai buruh, pembantu rumah tangga, nelayan, dan penjaga toko. Kepala SMPN 1 Cepiring Indar Suci Mulyani mengakui, rendahnya motivasi siswa menjadi penyebab ketidaklulusan.

Di Tegal, persentase kelulusan beberapa sekolah anjlok lebih dari 50 persen. Sejumlah kepala sekolah mengaku sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan bimbingan kepada siswa. Kepala SMP Negeri 13 Kota Tegal Dwi Setiawan mengatakan, sebagian siswa tidak lulus pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Dia menyebutkan, kualitas input siswa, kekurangan sarana laboratorium bahasa, juga majunya jadwal ujian sebagai faktor penyebab atau yang memengaruhi turunnya angka nilai kelulusan para siswa.
(AHA/BRO/ARA/ENY/IRE/HEN/MDN/GAL/HAN/EGI/EKI/ELN/LUK/WIE/KOR/ILO/INK)***

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:24 WIB

=======================================================================

Validitas Kurikulum Perlu Dicek Kembali

JAKARTA - Persoalan penurunan tingkat kelulusan ujian nasional dan banyaknya siswa yang tidak mencapai standar minimal pada tahun ini harus dicek dari validitas kurikulum yang jadi acuan UN pada tahun ini.

Ahli evaluasi dari Universitas Pendidikan Indonesia, S Hamid Hasan, yang dihubungi pada Jumat (7/5) di Jakarta mengatakan, pembuatan soal mengacu pada kurikulum 1994 dan 2004 sehingga perlu dipastikan bahwa ada kesamaan materi yang didapat siswa dalam proses pembelajaran.

”Bagaimana kita bisa mengecek kesamaan materi. Masih banyak sekolah yang memakai kurikulum 1994,” kata Hamid.

Kemampuan menghafal

Selain itu, dalam tes obyektif seperti UN, konstruksi soal juga sangat memengaruhi keberhasilan siswa. Apalagi materi ujiannya lebih bersifat untuk mengetes pengetahuan dengan mengandalkan kemampuan menghafal siswa dari pelajaran di kelas satu hingga tingkat akhir.

Selain itu soal-soal juga tidak boleh multitafsir atau multimakna. Namun, kenyataannya, banyak keluhan mengenai soal-soal UN yang dinilai mengecoh siswa.

Jajang Priatna, Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, mengatakan, para guru sendiri terkadang merasa memiliki jawaban yang berbeda dengan jawaban milik pemerintah. Namun, setiap kali pelaksanaan UN, kunci jawaban resmi tidak dibuka kepada guru.

”Kan, bisa jadi acuan untuk memastikan kebenaran jawaban. Bisa saja terjadi argumentasi yang berbeda. Tetapi, ini kan dalam rangka untuk kepentingan siswa ke depan agar mereka jangan dirugikan,” kata Jajang.

Rektor Universitas Negeri Jakarta Bedjo Sujanto mengatakan, penurunan tingkat kelulusan bisa juga karena soal UN tahun ini lebih tinggi kualitasnya. Jika banyak siswa belum bisa mencapai standar, tentu harus dievaluasi di mana letak kekurangan pembelajaran pada siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Samarinda Harimurti yang mengatakan banyak siswa gagal di mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika, juga menilai soal-soal UN sulit dan tidak kontekstual sehingga menyulitkan.

Sekitar 50 persen siswa di Kota Samarinda tidak lulus. Harimurti menyatakan kekecewaannya. ”Saya cukup yakin bahwa inilah potret sesungguhnya kemampuan para siswa di Samarinda untuk UN,” ujarnya. Ia mengatakan, kegagalan ini bisa jadi akibat ketidakmampuan guru, lemahnya manajemen sekolah, dan tingginya tingkat kesulitan soal.

Sementara Kepala Dinas Kalimantan Barat Alexius Akim mengatakan, kegagalan ini merupakan persoalan serius. ”Saya sudah meminta semua kepala dinas di kota dan kabupaten untuk mencari penyebab mengapa begitu banyak sekolah yang semua siswanya tidak lulus,” ujar Akim.

Berbekal evaluasi itu, pihaknya akan membuat kebijakan bagi masing-masing sekolah tergantung penyebab kegagalan. Dia juga merekomendasikan sekolah-sekolah yang memiliki siswa kurang dari 10 orang di setiap angkatannya untuk meleburkan diri dengan sekolah terdekat.

Hamid Hasan mengatakan, tingkat kelulusan yang rendah tahun ini jangan digiring ke arah bahwa pelaksanaan UN lebih jujur dibandingkan dengan sebelumnya. Yang justru harus dicermati adalah bahwa ada persoalan dalam pelaksanaan UN yang menimbulkan ketidakadilan pada siswa.

Sementara untuk mengejar kelulusan tersebut, semua sekolah memberikan tambahan bimbingan materi UN beberapa bulan sebelumnya bahkan ada yang mulai dari bulan November.

Guru Bimbingan dan Konseling SMK Yayasan Pendidikan Tentara Pelajar 17 I Temanggung, Jawa Tengah, mengatakan, secara psikologis siswa justru stres karena harus mengikuti pendalaman materi hingga berjam-jam setiap hari. ”Akibatnya, ketika hari ujian tiba, kondisi mereka drop. Secara psikologis, pikiran, dan badan mereka sudah lelah,” ujarnya. (AHA/ELN/BRO/LUK) ***

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 03:06 WIB

========================================================================
TAJUK RENCANA
KOMPAS, Sabtu, 8 Mei 2010 | 04:33 WIB

Cermati Ruang Kelas!

Judul di atas berakhir tanda seru. Bermakna perintah! Mengapa? Hasil ujian nasional SMP dan sederajat menggenapkan keprihatinan kita.

Mendesak perlu dicermati apa sih yang terjadi di ruang-ruang kelas setiap hari.

Sebanyak 561 SMP dan sederajat, sebelumnya 267 SMA dan sederajat, lulus nol persen dalam ujian nasional tahun ini. Hasil itu melorot dibandingkan tahun lalu. Pernyataan hasil ini masih sementara, masih menunggu hasil ujian ulangan 10-14 Mei dan 17-20 Mei, hanya hiburan sia-sia.

Ada sesuatu yang salah dalam praksis pendidikan kita. Perlu ada pengenalan yang mendetail, mulai dari sarana fisik, kurikulum, hingga guru, termasuk cara menilai hasil belajar yang bermuara pada perbaikan. Perbaikan perlu menyeluruh, tidak sepotong-sepotong.

Hasil kedua UN mengindikasikan perlu membongkar pakem yang selama ini sudah baku, di antaranya beberapa daerah yang selama ini dibanggakan memiliki sekolah dengan hasil UN tinggi ternyata runtuh. Kawasan Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, bahkan DKI Jakarta, yang dari tahun ke tahun duduk di tangga atas kelulusan, tahun ini melorot, misalnya.

Ada apa? Tidak cukup dijawab UN berlangsung makin jujur, standar kelulusan dinaikkan, pengawasan makin ketat, dan sebagainya. Jawaban apologetis itu tidak cukup, tidak juga solusif. Pelaksanaan makin bersih, makin dijunjung tinggi kejujuran, soal makin sulit, mungkin ya betul, tetapi cukupkah lantas dicari solusi dengan memperketat pengawasan dan menurunkan standar kelulusan?

Ibarat penyakit, UN yang melorot tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu barulah simtom buruknya praksis pendidikan kita selama ini. Ada yang salah.

Guru dari hasil berbagai survei yang dilaksanakan, katakan dari laporan BE Beeby tahun 1968 dan Komisi Pembaruan Pendidikan tahun 1977, merupakan faktor kunci, terpenting dari faktor sarana dan kurikulum.

Bagaimana perlakuan kita dengan profesi ini? Kita terhenti dengan keputusan-keputusan politik minus implementasi. Begitu juga yang menyangkut penyediaan sarana. Kita lebih asyik bongkar pasang kurikulum.

Mengacu amanah Pembukaan UUD '45 ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, maksudnya tentu bukan keberhasilan beberapa gelintir anak kita menang di olimpiade—olimpiade internasional—melainkan bagaimana semua anak bangsa ini menjadi bangsa cerdas, bukan bangsa inlander.

Titik sentralnya adalah mindset kita tentang membangun kecerdasan bangsa. Pembangunan pendidikan perlu ditempatkan sebagai pembangunan sarana infrastruktur sebuah bangsa bermartabat dan berkarakter.

Kata kuncinya, kenali betul apa yang terjadi di kelas, yakni mengubah mindset tentang praksis pendidikan yang niscaya berujung pada keputusan politik yang cerdas-cerah, dengan hasil memprihatinkan kedua UN—termasuk UN SD nanti—sebagai pintu masuk perubahan.

Source : Kompas, Sabtu, 8 Mei 2010 | 03:06 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar