Selasa, 10 April 2012

Gak Mau Sekolah Lagi

Tidak boleh ada anak yang tertinggal di belakang!", inilah salah satu semboyan yang menggelora di negeri barat puluhan tahun lalu. Semboyan ini menegaskan pentingnya agenda penyelamatan anak, sekaligus pentingnya pendidikan sebagai sarana penyelamatan mereka.

Sejak saat itu, negara-negara barat berlomba untuk membangun kualitas warganya sejak usia belia melalui pendidikan. Hasilnya pun terlihat. Kesadaran tentang pentingnya pendidikan juga begitu terasa di Indonesia. Karena itu institusi sekolah terus tumbuh, baik negeri maupun swasta, baik yang berorientasi pengabdian sampai bisnis.



Di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, terus digelorakan semangat menuntut ilmu melalui program wajib belajar 12 tahun. Bahkan hingga pendidikan tinggi yang disubsidi secara khusus oleh daerah. Namun masih ada pula bocah yang belum menikmatinya, baik karena pilihan pribadi maupun keterbatasan kondisi.

Zubaidah, Yunita, dan Nursiah adalah tiga bocah putus sekolah yang kini berdagang di Pasar Sangatta Selatan. Beragam latar belakang atas kondisi mereka menjadi cerita tersendiri.

Zubaidah adalah siswa putus sekolah sejak kelas IV SD. Ia memutuskan berhenti dari pendidikan di SDN 002 Sangatta Selatan sejak dua bulan lalu karena memilih fokus membantu kakaknya berjualan ikan di pasar. Ayahnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, sedangkan ibunya tidak bekerja.

Uniknya, seluruh keluarga sebenarnya memintanya untuk bersekolah. Namun ia yang tidak mau. "Sebenarnya bapak, ibu, dan kakak saya meminta saya sekolah. Tapi saya tidak mau. Lebih baik saya jualan cari uang," katanya. Kini ia bekerja membantu kakaknya mulai pukul 05.00 subuh hingga pukul 17.00 sore. Atas bantuannya tersebut, ia mendapatkan upah Rp 900.000 per bulan.

"Saya lebih senang cari uang. Uangnya buat beli emas. Ada juga uang yang dikasihkan ke Ibu," kata Zubaidah yang merupakan anak ke 5 dari 7 bersaudara. Ia pun kukuh memilih untuk tidak lagi bersekolah.

"Biar ada yang membiayai, saya tetap tidak mau sekolah. Mau cari uang saja," katanya. Dalam benak mudanya, ia berpikir uang jauh lebih penting dari bersekolah. "Sekolah capek masih harus bikin PR, masih harus keluar uang. Enakan berjualan. Hasilnya jelas, bisa beli macam-macam," katanya santai.

Berbeda dengan Zubaidah, Yunita justru harus putus sekolah karena tuntutan ekonomi. "Saya berhenti sebulan yang lalu. Saya membantu ibu berjualan ikan dan udang di pasar," katanya. Atas bantuannya tersebut, terkadang ibunya memberikan sedikit uang, terkadang juga tidak.

Yunita sebenarnya masih memiliki keinginan untuk sekolah. Namun beberapa faktor membuatnya terus menimbang-nimbang harapan tersebut. Antara lanjut atau tidak. Saat menjelaskan harapan itu pada Tribun, kebimbangan tampak jelas di raut wajah belianya.

"Mau saja saya sekolah, asal ada yang membiayai. Keluarga saya ekonominya sulit. Dari lima bersaudara, baru satu yang lulus SD," kata mantan siswa kelas IV SDN 001 Sangatta Selatan tersebut.

Namun pada sisi lain, anak keempat dari lima bersaudara tersebut juga kukuh ingin membantu ayahnya, seorang pekerja serabutan yang disebut Yunita sebagai pekerja swasta, maupun ibunya yang mengais rejeki dari berjualan ikan.

"Sebenarnya saya juga malu kalau diolokin di sekolah. Saya dibilangin ikan dan udang sama teman-teman. Saya juga sering dibilang tua, karena badan saya lebih tinggi dibandingkan teman-teman. Rasanya sedih dan malu. Tapi mungkin kalau ada biaya, rasa malu itu harus saya tahan-tahan," katanya.

Berbeda pula dengan kisah Nursiah. Bocah itu sudah tamat SD. Namun sudah dua tahun ini ia tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. "Saya ikut jualan baju sama Acil. Cari uang untuk keluarga," katanya. Ayah Nursiah seorang pekerja bangunan. Sedangkan ibunya tidak bekerja.

Ia sempat berpikir untuk melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri. "Namun saya malu masuk ke sana, teman-teman SD saya sudah kelas II. Masak saya masuk kelas I. Saya coba lihat-lihat di SMP swasta. Tapi masih mahal. Saya tidak ada uang," kata anak ketiga dari lima bersaudara tersebut.

Atas jasanya menjaga toko pakaian sejak pukul 6.30 pagi hingga pukul 17.00, Nursiah mendapatkan upah Rp 500.000 per bulan. "Uang itu saya berikan pada ibu Rp 300.000. Sedangkan saya pegang Rp 200.000. Paling-paling buat jajan Rp 50.000, karena terkadang saya ikut membelikan jajan adik atau rokoknya bapak," katanya.

Saat Tribun mendalami lebih jauh harapannya, Nursiah mengatakan sebenarnya masih ingin bersekolah. Terutama untuk menuntut ilmu di sekolah swasta. "Kalau di swasta saya mau, tapi biayanya mahal. Tapi kalau di negeri saya malu dengan teman-teman SD saya," katanya.

Tiga bocah tersebut hanyalah bagian super kecil dari 350.000 lebih warga Kabupaten Kutai Timur. Namun mereka belum tersentuh, atau minimal belum tercerahkan tentang pentingnya pendidikan sebagai sarana menuntut ilmu yang pastinya berguna untuk menggapai keberhasilan di masa depan.

Kiranya, tiga pilar pendidikan mutlak bergerak. Baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat, dengan berbagai dimensi peranannya. Minimal masyarakat perlu disokong sekaligus dibuat melek, bahwa ilmu lebih penting dari harta. Bahwa roda kehidupan membutuhkan kematangan jiwa berbasis ilmu, dan bukan semata tumpukan rupiah.

Sumber : Tribun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar